MUHAMMAD AMIN

Jumat, 02 November 2012

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS DALAM AGAMA ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Manusia diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi ini[1] sebagai pemelihara kelangsungan mahluk hidup dan dunia seisinya. Dalam rangka itulah Allah membuat  sebuah undang-undang yang nantinya manusia bisa menjalankan tugasnya dengan baik, manakala ia bisa mematuhi perundang-undangan yang telah dituangkan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an.
Pada kitab suci orang muslim ini, telah dicakup semua aspek kehidupan, hanya saja, berwujud teks yang sangat global sekali, sehingga dibutuhkan penjelas sekaligus penyempurna akan eksistensinya. Maka, Allah mengutus seorang nabi untuk menyampaikannya, sekaligus menyampaikan risalah yang ia emban. Dari sang Nabi inilah yang selanjutnya lahir yang namanya hadits, yang mana kedudukan dan fungsinya amat sangatlah urgen sekali.
Terkadang, banyak yang memahami agama setengah setengah, dengan dalih kembali pada ajaran islam yang murni, yang hanya berpegang teguh pada sunnatulloh atau Al-Qur’an, lebih-lebih mengesampingkan peranan al Hadits, sehingga banyak yang terjerumus pada jalan yang sesat, dan yang lebih parah lagi, mereka tidak hanya sesat melainkan juga menyesatkan yang lain.
Oleh karena itu, mau tidak mau peranan penting hadits terhadap Al-Qur’an dalam melahirkan hukum Syariat Islam tidak bisa di kesampingkan lagi, karena tidak mungkin  umat Islam memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya merujuk pada Al-Qur’an saja, melainkan harus diimbangi dengan Hadits, lebih-lebih dapat disempurnakan lagi dengan adanya sumber hukum Islam yang mayoritas ulama’ mengakui akan kehujahannya, yakni ijma’ dan qiyas. Sehingga, seluruh halayak Islam secara umum dapat menerima ajaran Islam seccara utuh dan mempunyai aqidah yang benar, serta dapat dipertangungjawabkan semua praktik peribadatannya kelak.
Di sisi lain Imam Syafi’I telah “menanamkan fondasi efistemologis yang sangaty menghujam ketika mengeluarkan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: iza asaha al-hadits fahuwa mazhabi, bahwa ketika “sebuah hadits telah teruji kesahihannya, itulah mazhabku”[2] Berawal dari konteks ini ternyata perkembangan agama (hukum) Islam tidak terlepas dari kontek kajian hadits.

B.     Rumusan Masalah
1.        Bagaimana kedudukan Hadits terhadap Hukum Islam?
2.        Bagaimana Fungsi Hadits terhadap Al-Quran?
3.        Bagaimana kedudukan Hadits terhadap Masalah yang tidak ada dalam   Al-Quran?




BAB II
KEDUDUDUKAN HADITS DALAM AGAMA ISLAM

A.  Kedudukan Hadits Dalam Hukum Islam

Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu  sumber ajaran Islam. Ia mempati kedudukan kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam baik yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an.
Hal ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an,  yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan Hadist tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara Hadits dengan Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri[3].
Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undan(gan setelah Al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi  bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’ setelah Al-Qur’an”[4]
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958 salah seorang sarjana barat yang telah mengadakan penelitian dan penyelidikan secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatan bahwa : “Pokok-pokok  ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta langgeng abadi, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya”[5].
Menurut Ahmad hanafi “Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur’an…merupakan hukum yang berdiri sendiri.”[6]
Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa Hadits merupakan sumber hukum dalam Islam  adalah firman Allah dalam Al-Qur’an surah An- Nisa’: 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ … (80)
“Barangsiapa yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Alloh…”[7]
Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum didasarkan juga kepada Hadits Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional.
Dalam ayat lain Allah berfirman QS. Al-Hasyr :: 7
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [8]

Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali kanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…”[9]
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak cukup hanya berpedoman pada Al-Qur’an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga wajib berpedoman kepada Hadits Rasulullah Saw.

B.  Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahsan yang lalu, bahwa Al-Qur’an merupakan dasar syariat yang bersifat sangat global sekali, sehingga bila hanya monoton menggunakan dasar Al-Qur’an saja tanpa adanya penjelasan lebih lanjut maka akan  banyak sekali masalah yang tidak terselesaikan ataupun menimbulkan kebingungan yang tak mungkin terpecahkan. Semisal pada kenyataan praktik sholat, dalam Al-Qur’an hanya tertulis perintah untuk mendirikan sholat, tanpa ada penjelasan berapa kali solat dilaksanakan dalam sehari semalam, lebih-lebih apa saja syarat dan rukun sholat, dan lain sebagainya. ;orang yang hanya berpegang pada Al-Qur’an saja tidak mungkin bisa mengerjakan sholat, bagaimana praktik sholat, apa saja yang harus dilakukan dalam sholat, apa saja yang harus dijauhi ketika melakukan sholat, dan lain-lain.
Maka, disinilah urgensitas hadits, yang mempunyai peran penting sebagai penafsir dan  penjelas dari keglobalan isi Al-Qur’an, sehingga manusia dapat mempelajari dan memahami islam secara utuh. Lebih spesifik lagi, setidaknya ada dua fungsi yang menjadi peran penting hadits terhadap Al-Qur’an, yaitu :
1.        Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah didalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya Q.S Al-Hajj ayat 30 yang artinya “Dan jauhilah perkataan dusta.” Kemudian Nabi dengan Haditsnya menguatkan: “Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, hai Rasulullah. “Beliau meneruskan, sabdanya:”(1) Musyrik kepada Allah, (2) Menyakiti kedua orang tua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: ”Awas! Berkata (bersaksi) palsu”[10] dan seterusnya  (Riwayat Bukhari - Muslim).
2.        Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan Taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah mengerjakan sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan sholat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan jika tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil (diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits). Nash-nash Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah Ayat 3 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Dan seterusnya. “Kemudian As-sunnah mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsiskan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah, dengan sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan“ ammah (saudari bapak)-nya dan seorang wanita dengan khalal (saudari ibu)-nya[11].” (H.R. Bukhari - Muslim).

Seluruh umat islam telah sepakat bahwa hadist rasul merupakan sumber dan dasar hukum islam setelah al-qur`an, dan umat islam di wajibkan mengikuti sunnah sebagai mana di wajibkan mengikuti Al-qur`an dan hadis.
Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber syariat islam yang tetap,orang islam tidak mungkin memahami syari`at islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber tersebut yaitu al-qur`an dan hadist.

C.      Fungsi Hadits dalam Menetapkan Masalah yang Belum Dijelaskan oleh Al-Qur`an.                   .     .

Kedudukan Hadits dalam menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur`an menunjukan bahwa Hadits merupakan sumber hukum Islam .
 Karena dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk taat secara mutlak kepada apa yang diperintahkan dan dilarang Rasulullah Saw, serta mengancam orang yang menyelisinya.
Hukum yang merupakan produk hadits/sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-Qur’an banyak sekali. Seperti larangan Rasulullah tantang haram memakai sutra bagi laki-laki :
حر م لبا س الحر ير و الذ هب علي ذ كو ر ...... ....

...Telah diharamkan memamakai sutra dan emas pada orang laki-laki dari ummatku...[12] ,larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas danlain sebagainya, oleh Dr. Yusuf al-Qardhawi dijelaskan “jadilah Hadits sebagai rujukan hukum yang tiada pernah habis-habisnya pada pembahasan fiqih”[13]
Kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam sesudah Al-Qur’an adalah sebab kedudukannya sebagai penguat dan penjelas, namun Hadits juga dalam menetapkan hukum berdiri sendiri, sebab kadang-kadang membawa hukum yang tidak disebutkan Al-Qur’an, seperti memberikan warisan kepada nenek perempuan (jaddah), dimana Nabi SAW, memberikan seperenam dari harta tinggalan orang yang meninggal (cucunya)[14]
Den gan demikian fungsi Hadits adalah merupakan sumber hukum dalam kehidupan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat




BAB  III
P E N U T U P


A.    Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Hadits merupakan berbagai hal yang telah diucapkan dan dicontohkan oleh Rasulullah yang harus dijadikan pedoman dan contoh bagi umat Islam
2.      Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penguat dan memperjelas apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an yang masih bersifat global (mu’mal).
3.      Hadits adalah merupakan sumber hukum dalam kehidupan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat
B.     Kata Penutup

Demikianlah Makalah ini disusun dengan segala usaha maksimal penulis, besar harapan kami dapat memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah studi Hadits pada program Pasca Sarjana di IAIN Sulthan Thaha saifuddin Jambi. Namun penulis menyadari masih belum sempurna dan harapan penulis saran dan masukan demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA


Achmad Syauki, Lintasan Sejarah Al-Qur’an Bandung: Sulita, 1985

Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam  Jakarta: Bulan Bintang,1989

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya Jakarta: Departemen Agama RI, 2008
Munzier Saputra,ilmu  HadisJakarta PT RajaGrafindo Persada:1993.

Salim Bahreisy, Terjemah Riadhush Shalihin II, Bandung:Alma’arif, 1987

Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama,1996

Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam, Al-Qur’an, Muwatta’ dan Peraktik Madina,Jokjakarta:Islamika, 2003

Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadts, Bandung: Pustaka Setia,2007


[1]Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008) Hal: 6ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”(Q.S. Al Baqoroh : 30)

[2] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam, Al-Qur’an, Muwatta’ dan Peraktik Madinah.(Jokjakarta:Islamika, 2003) Hal: xv
[3] Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis, (Jakarta : Gaya Media Pratama,1996) hal: 19
[4]  Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadts, (Bandung: Pustaka Setia,2007) hal:82.
[5] Achmad Syauki, Lintasan Sejarah Al-Qur’an (Bandung: Sulita, 1985) hal: 33.
[6] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam(Jakarta: Bulan Bintang,1989) Hal: 58-59
[7] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008) Hal: 91
[8] Ibid, Hal :546
[9] Ibid, Hal: 87
[10] Munzier Saputra,ilmu  Hadis(Jakarta PT RajaGrafindo Persada:1993). hal 50
[11]       Ibid .hal 52
[12] Salim Bahreisy, Terjemah Riadhush Shalihin II, (Bandung:Alma’arif, 1987)Hal.15
[13] Yusuf Qardhawi, Pengantar Studi Hadts, (Bandung: Pustaka Setia,2007) hal:84.
[14] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam(Jakarta: Bulan Bintang,1989) Hal: 59

KHAWARIJ DAN PEMIKIRANNYA


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Perkembangan pemikiran dalam Islam tidak terlepas dari perkembangan sosial dalam kalangan Islam itu sendiri. Memang, Pembahasan pokok dalam Agama Islam adalah aqidah, namun dalam kenyataanya masalah pertama yang muncul di kalangan umat Islam bukanlah masalah teologi, melainkan persolaan di bidang politik[1],  hal ini di dasari dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa, titik awal munculnya persolan pertama ini di tandai dengan lahirnya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang telah terpecah yang kesemuanya itu di awali dengan persoalan politik yang kemudian memunculkan kelompok-kelompok dengan berbagai Aliran teologi dan berbagai pendapat-pendapat yang berbeda-beda.
Dalam sejarah agama Islam telah tercatat adanya firqah-firqah (golongan) di lingkungan umat Islam, yang antara satu sama lain bertentangan pahamnya secara tajam yang sulit untuk diperdamaikan, apalagi untuk dipersatukan.
Hal ini sudah menjadi fakta dalam sejarah yang tidak bisa dirubah lagi, dan sudah menjadi ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab agama, terutama dalam kitab-kitab ushuluddin.
Barang siapa yang membaca kitab-kitab ushuluddin akan menjumpai didalamnya perkataan-perkataan: Syiah, Khawarij, Qodariah, Jabariah, Sunny (Ahlussunnah Wal Jamaaah), Asy-Ariah, Maturidiah, dan lain-lain.
Umat Islam, khususnya yang berpengetahuan agama tidak heran melihat membaca hal ini karena Nabi Muhammad SAW sudah juga mengabarkan pada masa hidup beliau.
Untuk itu dalam makalah ini penulis hendak membahas tentang salah satu jenis firqah diatas, yaitu golongan khawarij dan pemikirannya.
B.     Rumusan Masalah
1.        Apakah pengertian khawarij ?
2.        Bagaimana sejarah berdirinya kelompok  khawarij?
3.        Apakah sebab-sebab munculnya kelompok  khawarij?
4.        Siapakah tokoh-tokoh kelompok khawarij?
5.        Apa saja pemikiran-pemikiran kelompok khawarij?

C.      Tujuan Penulisan
Tujuan dilakukannya penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1.      Pengertian Khawarij.
2.      Sejarah berdirinya kelompok  khawarij
3.      Sebab-sebab munculnya kelompok  khawarij
4.      Siapa tokoh-tokoh kelompok khawarij
5.      Apa saja pemikiran-pemikiran kelompok khawarij.

D.    Sistematika Penulisan

Makalah ini terdiri dari empat bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut ; Bab I merupakan  pendahuluan dari seluruh pembahasan makalah ini. Di dalamnya dijelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah tujuan penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan landasan teoritis makalah ini, di dalamnya membahas tentang pengerrtian khawarij, sejarah berdirinya dan faktor-faktor penyebab berdirinya kelompok khawarij ini.
Bab III merupakan pembahasan makalah ini, didalamnya menjelaskan tentang siapa tokoh-tokoh kelompok ini dan apa saja hasil pemikiran kelompok khawarij ini.
Sebagai pemungkas dari keseluruhan pembahasan  dimuat dalam bab IV yakni  bagian penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran.



BAB II
PENGERTIAN DAN SEJARAH BERDIRINYA
KELOMPOK KHAWARIJ

A.    Pengertian Khawarij
Kata khawarij  menurut bahasa merupakan jamak dari  خرجي  secara harfiah berarti orang-orang yang keluar, mengungsi atau mengasingkan diri[2]. Istilah ini bersifat umum yang mencakup semua aliran dalam Islam yang memisahkan diri atau keluar dari jamaah ummat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syahrastani:
كل من خرج على الا ما مم الحق الذ ى ا تفقت الخما عة علية يسمي خارخيا [3]                
(Tiap yang memberontak kepada imam yang benar yang disepakati oleh jamaah dinamakan khawarij)
Jadi khawarij adalah  firqah bathil yang keluar dari dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa, ‘Bidah yang pertama muncul dalam Islam adalah bidah khawarij.[4]
Secara Historis khawarij merupakan “orang-orang yang keluar dari barisan Ali”[5]. Awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Namun pada perkembangan selanjutnya mereka juga adalah kelompok yang tidak mengakui kepemimpinan Muawiyah.[6]


Kelompok Khawarij lahir sebagai aksi demonstratif atas kebijaksanaan Ali dan Muawiyah menunjuk perwakilan dalam komporomi untuk mengahiri perang Shiffin. Peristiwa tersebut dikenal dengan Tahkim (arbitrase).[7]
 Kaum Khawarij pada mulanya dikenal sebagai pengikut  Ali bin Abi Thalib, namun karena peristiwa tersebut sehingga mereka meninggalkan Ali. Karena mereka menganggap Ali telah mendurhakai Allah dengan mengakat hakim/ wali selain Allah. Bahkan lebih jauh mereka mengkafirkan Ali dan seluruh yang tunduk pada tahkim tersebut. 
Selanjutnya golongan ini dikenal sangat ekstrim dan radikal terhadap pendapat yang berbeda dengannya. Bahkan secara Ekstrim, mereka melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang menurutnya zalim. Sehingga dalam rentang waktu yang cukup lama kaum ini banyak membuat keonaran.
Kalau ditelusuri ke belakang, maka dapat diketahui bahwa embirio dari seluruh komplik tersebut berawal dari peristiwa pembunuhan Usman[8]. Mencermati peristiwa tersebut, ummat Islam terbagi tiga, satu golongan menghendaki untuk menyelesaikan pembunuhan tersebut sebelum mengangkat khalifah, sementara golongan kedua  menghenadaki secepatnya diadakan pengangkatan khalifah, golongan ketiga adalah golongan yang netral[9].
Golongan yang menghendaki segera diangkat khalifah adalah mereka yang menganggap bahwa yang paling berhak menjadi khalifah setelah Usman bin affan  adalah Ali. Golongan ini pada mulanya mendapat dukungan kuat dari seluruh umat Islam. Sementara kelompok kedua berdalih bahwa persoalan kekhalifahan adalah masalah yang tidak terlalu mendesak, sementara yang perlu diproritaskan adalah pengusutan kasus pembunuhan Usman, bahkan kelompok ini mensinyalir kalau Ali ada di balik pembunuhan Usman dengan menggunakan tangan-tangan lain.
Komplik kelompok pertama dan kedua semakin melebar bahkan berakhir dengan pertempuran antara sesama muslim. Peperangan Shiffin yang diakhiri dengan tahkim sebagai cikal bakal lahirnya kelompok Khawarij. Kelompok ini berasumsi bahwa tindakan politik tersebut telah menabrak aturan agama. Sebab hal tersebut tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. Akibatnya mereka berontak kepada Ali dan bahkan memusuhinya sepanjang Ali tidak membatalkan kesepakatannya tersebut.
Atas dasar ini, kemudian golongan yang semula mendukung Ali ini selanjutnya berbalik  menentang dan memusuhi Ali beserta tiga orang tokoh pelaku tahkim lainnya yaitu Abu Musa Al-Asyari, Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan Amr Bin Ash.Untuk itu mereka berusaha keras agar dapat membunuh ke empat tokoh ini , dan menurut fakta sejarah, hanya Ali yang berhasil terbunuh oleh Abdurrahman bin muljam, sebagai salah seorang utusan khawarij.[10]
Kondisi umat Islam pada waktu itu adalah bias dari kemerdekaan berpikir dan berijtihad atas masalah yang mereka hadapi. Sebab umat Islam menghadapi sejumlah peroblema yang tidak pernah ditemukan pada priode Nabi Muhammad. Lebih dari itu para sahabat mulai menetapkan hukum dengan berpedoman pada qiyas dan ijma’. Sehingga perseberangan pendapat antara umat Islam sulit terhindarkan. Bahkan perbedaan pendapat tersebut telah “merampas” hak Allah yaitu menetapkan seorang kafir hanya kerena berbeda pendapat
Kaum khawarij kadang-kadang menamakan golongan mereka dengan kaum syurah artinya kaum yang mengorbankan dirinya untuk kepentingan dan keredhaan Allah, [11]
Dalam perkembangannya kelompok khawarij ini selalu menentang kelompok Ali dan Muawiyah dengan mengagungkan slogan       لا حكم الا اللة “tidak ada hukum, kecuali dari Allah”[12]. Oleh al-Jabiri slogan ini pengukuhan sebentuk “sakralisasi politik”[13]
Memang golongan ini sudah hilang dibawa arus sejarah, dengan berhsilnya khalifah Dinasti Umaiyah menghentikan gerakan anarkis mereka[14], dengan memberikan kebebasan relatif pada level pemikiran, keagamaan dan politik, namun tidak segan-segan menumpasnya dengan senjata.[15]akan tetapi fahamnya masih berkeliaran dimana-mana sehingga harus kita waspadai[16]
C.     Sebab-sebab Berdirinya Kelompok Khawarij
Dari uraian sejarah  kelahirannya dapat diidentifikasikan beberapa faktor penyebab  kemunculan kelompok khawarij adalah:
1.      Perseteruan sekitar masalah khilafah. kemungkinan ini merupakan sebab yang paling kuat dalam kemunculan Khawarij dan pemberontakan mereka, karena mereka memiliki pandangan yang khusus dan keras dalam hal ini,sehingga menganggap penguasa yang ada pada waktu itu tidak berhak menjadi khalifah bagi kaum muslimin ditambah juga dengan keadaan politik yang tidak menentu yang membuat mereka berani untuk memberontak terhadap para penguasa ,apalagi mereka menganggap bahwa perselisihan antara Ali dengan Muawiyah adalah perselisihan memperebutkan kursi kekhilafahan
2.      Permasalahan tahkim. inipun menjadi sebab yang kuat dari pemberontakan dan kemunculan Khawaarij, karena mereka mengkafirkan Ali lantaran keridhoan beliau terhadap perkara ini
3.      Kedzaliman para penguasa dan tersebarnya kemungkaran yang banyak dikalangan manusia. Demikianlah slogan dan propaganda mereka dalam khutbah-khutbah dan tulisan-tulisan mereka untuk mengambil simpati umat Islam dengan mengatakan bahwa para penguasa telah berbuat kedzaliman dan kemaksiatan telah menyebar dan merebak pada masyakat yang ada sehingga perlu mencegahnya,akan tetapi pada hakikatnya apa yang mereka lakukan dengan memberontak terhadap penguasa itu lebih besar dari pada kemungkaran dan kedzoliman yang ada,karena mereka menganggap bahwa membunuh orang yang menyelisihi mereka merupakan satu ketaatan yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah dan menganggap semua penguasa mulai dari Ali kemudian Bani Umayah dan Abasiyah adalah dzolim tanpa klarifikasi dan kehati-hatian, padahal menegakkan keadilan dan mencegah kemungkaran bisa dilakukan dengan cara yang lain tanpa harus mengorbankan dan menumpahkan darah-darah orang yang menyelisihi mereka baik penguasa atau rakyat.
Disamping faktor-faktor penyeban diatas, kemunculan kelompok khawarij juga disebabkan oleh :
1.      Fanatisme kesukuan.
Fanatisme kesukuan ini merupakan satu dari sebab-sebab munculnya Khawarij. Fanatisme kesukuan ini telah hilang pada zaman Rasulullah dan Abu Bakar serta Umar, kemudian muncul kembali pada zaman pemerintahan Utsman dan yang setelahnya. Dan pada masa Utsman fanatisme tersebut mendapat kesempatan untuk berkembang karena terjadi persaingan dalam memperebutkan jabatan-jabatan penting dalam kekhilafahan sehingga Utsman di tuduh mengadakan gerakan nepotisme dengan mengangkat banyak dari keluarganya untuk menjabat jabatan-jabatan strategis di pemerintahannya,dan inilah yang dijadikan hujjah oleh mereka untuk mengadakan kudeta terhadapnya.
2.      Faktor ekonomi,
Semangat ini dapat dilihat dari kisah Dzul Khuwaishiroh bersama Rasulullah dan kudeta berdarahnya mereka terhadap Utsman, ketika mereka merampas dan merampok harta baitul-mal langsung setelah membunuh Utsman, demikian juga dendam mereka terhadap Ali dalam perang jamal, ketika Ali melarang mereka mengambil wanita dan anak-anak sebagai budak rampasan hasil perang sebagimana perkataan mereka terhadap Ali: Awal yang membuat kami dendam padamu adalah ketika kami berperang bersamamu di hari peperangan jamal, dan pasukan jamal kalah, engkau membolehkan kami mengambil apa yang kami temukan dari harta benda dan engkau mencegah kami dari mengambil wanita-wanita mereka dan anak-anak mereka.
3.      Semangat keagamaan.
ini pun merupakan satu penggerak mereka untuk keluar memberontak dari penguasa yang absah.[17]






BAB III
TOKOH DAN PEMIKIRAN KELOMPOK KHAWARIJ
a.       Tokoh-tokoh Kelompok Khawarij
Berdasarkan catatan sejarah, gerakan kelompok khawarij ini terpecah menjadi dua cabang besar yaitu :
1.      Kelompok Khawarij yang bermarkas di wilyah Bathaih, yaitu kelompok yang mengusai dan mengawasi kaum khawarij yang berada di Persia dan disekeliling Irak. Cabang ini dipimpin oleh Nafi’ bin azraq dan Qatar bin Faja’ah
2.      Kelompok Khawarij yang bermarkas di Arab Daratan, yaitu kelompok yang mengusai dan mengawasi kaum khawarij yang berada di Yaman, Hadhramaut dan Thaif, Cabang ini dipimpin oleh Abu Thaluf, Najdah bin ‘Ami dan Abu Fudaika[18]
Dari dua kelompok besar , kelompok khawarij terbagi  dalam Sekte-sekte dan ajaran pokok Khawarij.Terpecahnya Khawarij ini menjadi beberapa sekte, mengawali dan mempercepat kehancurannya dan sehingga Aliran ini hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sekte-Sekte tersebut antara lain adalah :
1.      Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali, disebut golongan Al-Muhakkimah. Bagi mereka Ali, Mu’awiyah, kedua pengantara Amr Ibn Al-As dan Abu Musa Al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui paham bersalah itu dan menjadi kafir.
2.      Al-Azariqah
Golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar lagi kuat sesudah golongan Al-Muhakkimah hancur adalah golongan Al-Azariqah. Daerah kekuasaan mereka terletak diperbatasan Irak dengan Iran. Nama ini diambil dari Nafi’ Ibn Al-Azraq.Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ sendiri dan kepadanya mereka beri gelar Amir Al-Mu’minin. Nafi’ meninggal dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M. mereka menyetujui paham bersalah itu dan menjadi musyrik
3.      Al-Nadjat
Najdah bin Ibn ‘Amir Al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan Al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebagian dari pengikut-pengikut Nafi’ Ibn Al-Azraq, diantaranya Abu Fudaik, Rasyid Al-Tawil dan Atiah Al-Hanafi, tidak menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tidak mau berhijrah kedalam lingkungan Al-Azariqah adalah musyrik. Akan tetapi mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, benar akan mendapatkan siksaan, tetapi bukan dalam neraka, dan kemudian akan masuk surga.
4.      Al-Ajaridah
Mereka adalah pengikut dari Abd Al-Karim Ibn Ajrad yang menurut Al-Syahrastani merupakan salah satu teman dari Atiah Al-Hanafi. Menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’ Ibn Al-Azraq dan Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan. Kaum Ajaridah boleh tinggal diluar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir. Harta boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta orang yang telah mati.
5.      Al-Sufriah
Pemimpin golongan ini ialah Ziad Ibn Al-Asfar. Dalam paham mereka dekat sama dengan golongan Al-Azariqah.
6.      Al-Ibadiyah
Golongan ini merupakan golongan yang paling beda dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari Abdullah Ibn Ibad yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqah[19].

b.      Pemikiran Kelompok Khawarij
Secara umum hasil pemikiran dari kelompok Khawarij adalah:
1.      Persoalan Khalifah
a.    Kelompok khawarij mengakui khalifah-khalifah Abu Bakar, Umar dan separo zaman dari khalifah Ustman bin Affan [20] . Pengangkaatan ketiga khlalifah tersebut sah sebab telah dilaksanakan dengan Syura yaitu musyawarah ahlul halli wal aqdi. Akan tetapi diakhir masa kekhakifahan Usman bin Affan tidak diakui oleh mereka, karena khalifah telah melakukan penyelewengan dalam menetapkan pejabat-pejabat negara.
b.    Khalifah Ali bin Abi Thalib, awalnya pengangkatan sebagai khalifah diakui oleh kelompok khawarij, namun kemudian khalifah melakukan dosa besar dengan menerima tahkim, maka mereka pun tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan menghukumnya kafir[21]
c.    Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.[22]
d.   Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
e.    Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.[23]
2.      Persoalan Fatwa Kafir
a.       Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir,karena itu halal darahnya, halal hartanya, halal anak istrinya dan kampung halamnya adalah Darul Harb.[24]
b.      Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair, dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim termasuk yang menerima dan mambenarkannya di hukum kafir.[25]
3.      Persoalan Iman dan Ibadah
Kaum khawarij berpendapat bahwa yang dikatan “iman itu bukanlah pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan saja, tetapi amal ibadat menjadi rukun iman pula”[26] Barang siapa yang tidak mengerjakan sembahyang, puasa, zakat dan lain-lain, maka orang tersebut telah menjadi kafir.
4.      Persoalan Dosa
Bagi kaum khawarij semua dosa adalah besar, jadi mereka tidak mengenal perbedaan antara dosa besar dan dosa kecil. “sekalian pendurhakaan pada Tuhan (dosa) besar”[27]








BAB  IV
P E N U T U P


A.    KESIMPULAN

Berdasarkan uraian  uraian yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Kelompok khawarij lahir dari kekisruhan politik yang terjadi  setelah mangkatnya khalifah Usman bin Affan, yaitu terjadi perselisihan antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah  pada perang siffin
2.      Berdirinya kelompok khawarij bukan hanya berdampak pada perbedaan politik, akan tetapi juga berkembang pada permasalahan teologis yang memiliki perbedaan yang tidak mungkin untuk disatukan.
3.      Pemikiran-pemikiran kelompok khawarij merupakan doktrin-dokrin yang bersifat ekstrim yang berkaitan dengan persoalan-persoalan seperti tentang khalifah, fatwa kafir, dosa serta iman dan ibadah

B.     Saran-saran

Memperhatikan catatan sejarah kelompok khawarij, Keberadan kelompok khawarij ini merupakan khasanah pengetahuan keislaman yang patut dikaji karena pada hakekatnya perbedaan dalam Islam itu adalah rahmat.
Namun di sisi lain, Setiap orang Islam hendaknya agar berhati-hati dalam mengkaji ajaran Islam, karena banyaknya dan berkembangnya pemikiran dikalangan umat Islam sehingga terkadang ada pemikiran-pemikiran yang tidak relevan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,Jakarta: Bulan  Bintang,1986.

Asy-Syahrastani, Al-milal al-Nihal,Kairo: Muassasat Al-halabi, 1968.

Abdul Rozak, dkk . Ilmu kalam. Bandung: Pustaka setia,2006.

Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995.

Badri Yatim , Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafido Persada, 2011

Boedi Abdullah, Pemikiran Modern dalam Islam, Bandung: Pustaka setia,2010.

Ghufron A.Mas’adi, Ensiklopedi Islam Ringkas Jakarta: Raja Grafido Persada, 2003.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1986.

--------------------, Teologi Islam,Jakarta: UI Press,1989.

Sirajuddin abbas, I’tikad Ahlusssunnah Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1991

Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996.

Sumber dari Internet


[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Press, 1986)hal.92
[2] Harun Nasution, Teologi Islam,(Jakarta: UI Press,1989), hal.5
[3] Asy-Syahrastani, Al-milal al-Nihal, (Kairo: Muassasat Al-halabi, 1968) hal.114
[4] Ghufron A.Mas’adi, Ensiklopedi Islam Ringkas (Jakarta: Raja Grafido Persada, 2003),hal.386
[5] Badri Yatim , Sejarah Peradaban Islam, ((Jakarta: Raja Grafido Persada, 2011), hal.40
[6] Sirajuddin abbas, I’tikad Ahlusssunnah Wal-jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1991), hal.153-154
[7]   Badri Yatim , Sejarah Peradaban Islam, ((Jakarta: Raja Grafido Persada, 2011), hal.40
[8] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,(Jakarta: Bulan Bintang,1986), hal.194
[9] Badri Yatim , Sejarah Peradaban Islam, ((Jakarta: Raja Grafido Persada, 2011), hal.39-40
[10] Sirajuddin abbas, I’tikad Ahlusssunnah Wal-jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1991), hal.155
[11] ibid
[12] Ibid.hal 154
[13] Boedi Abdullah, Pemikiran Modern dalam Islam, (Bandung: Pustaka setia,2010) hal.145
[14] Badri Yatim , Sejarah Peradaban Islam, ((Jakarta: Raja Grafido Persada, 2011), hal.46
[15] Boedi abdullah, Pemikiran Modern dalam Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2010) hal.145
[16] Sirajuddin abbas, I’tikad Ahlusssunnah Wal-jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1991), hal.156

[17] salafyoon.net ©.”Khawarij, sejarah dan dalam perspektif Islam” http://www. salafyoon.net/tags/74 html (diakses pada 14 oktober 2012)

[18] Sirajuddin abbas, I’tikad Ahlusssunnah Wal-jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1991), hal.155

[19] Abuddin Nata, Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf,.( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995). Hal.30
[20] Sirajuddin abbas, I’tikad Ahlusssunnah Wal-jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1991), hal.157
[21] ibid
[22] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996). Hal.106
[23] Abdul Rozak, dkk . Ilmu kalam. (Bandung: Pustaka setia,2006). Hal. 51
[24] Sirajuddin abbas, I’tikad Ahlusssunnah Wal-jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1991), hal.160

[25] ibid, hal.159

[26] ibid, hal.161

[27] Ibid, hal.162